KEBIJAKAN PRIVATISASI DAN PENGARUHNYA DALAM PEREKONOMIAN MAKRO INDONESIA
KEBIJAKAN PRIVATISASI DAN PENGARUHNYA
DALAM PEREKONOMIAN MAKRO INDONESIA
Siti Maro’ah
FE UMSurabaya
Jl.Sutorejo 59 Telp.031-3811966 Surabaya 30285
E-mail : stmaro’ah@yahoo.com
Abstrak
Kebijakan privatisasi merupakan salah satu kebijakan pemerintah untuk mengalihkan sebagian atau seluruh aset milik negara kepada pihak swasta. Privatisasi BUMN telah menyebabkan pro dan kontra di kalangan masyarakat Indonesia. Beberapa orang setuju dengan privatisasi semua privatisasi dapat memberikan manfaat yang lebih baik, beberapa orang menolak privatisasi karena mereka tidak nasionalis dan belanja aset negara.
Tujuan yang ingin dicapai melalui kebijakan privatisasi adalah untuk memberikan kontribusi finansial kepada negara dan perusahaan, mempercepat penerapan prinsip-prinsip tata kelola perusahaan yang baik, membuka akses ke pasar internasional, dan transfer teknologi dan transfer praktik terbaik untuk badan usaha.
Di Indonesia, pemerintah dapat melakukan privatisasi setelah Parlemen menyetujui rancangan anggaran di mana ada target penerimaan negara dari privatisasi. Privatisasi didasarkan pada prinsip-prinsip transparansi, kemandirian, akuntabilitas, tanggung jawab, keadilan, dan prinsip harga terbaik dengan memperhatikan kondisi pasar rekening (domestik dan internasional). Kontribusi terbesar dari BUMN sebenarnya barasal dari pajak dan dividen, dan kemudian diikuti oleh hasil privatisasi. Jadi jika kita mengharapkan kontribusi yang lebih besar dari BUMN terhadap perekonomian nasional, maka langkah logis untuk dilakukan adalah membuat keadaan sehat sehingga dapat memberikan kontribusi dalam bentuk pajak dan dividen dalam jumlah yang lebih besar.
Pendahuluan
Kebijakan privatisasi merupakan salah satu kebijakan yang dilakukan pemerintah untuk mengalihkan sebagian atau keseluruhan aset yang dimiliki negara kepada pihak swasta. Pengalihan aset dapat diartikan sebagai pengalihan kewenangan pengelolaan dari pemerintah kepada swasta. Selanjutnya perubahan kepemilikan ini , menurut Boardman (1989) akan berpengaruh terhadap kinerja perusahaan melalui peningkatan efisiensi penggunaan sumber daya.
Privatisasi BUMN telah menimbulkan pro dan kontra di kalangan masyarakat Indonesia. Sebagian masyarakat setuju dengan privatisasi sepanjang privatisasi dapat memberikan manfaat yang lebih baik, sebagian masyarakat menolak privatisasi karena dianggap tidak nasionalis dan menghabiskan aset negara. Sementara proses privatisasi itu sendiri berjalan tersendat, yang berakibat, antara lain, tidak dapat mencapai target sebagaimana yang telah ditetapkan dalam APBN 2001 (Purwoko,2002).
Pada tanggal 5 September 2005, pemerintah menetapkan kembali kebijakan privatisasi BUMN melalui penetapan PP No. 33/2005 tentang tata cara Privatisasi Perusahaan Perseroan (Persero), Kebijakan ini merupakan kebijakan turunan untuk melaksanakan Pasal 83 UU No. 19 tahun 2003 tentang BUMN, yang menyatakan perlunya menetapkan PP tentang Tata Cara Privatisasi Perusahaan Perseroan (Persero) BUMN.
Sebagian besar program dan kebijakan privatisasi dilakukan tidak terlepas dari politik ekonomi (political economic) suatu negara. Seperti yang diungkapkan World Bank (2002) bahwa keberhasilan privatisasi tidak dapat dilepaskan dari aspek politik ekonomi. Keterlibatan lembaga legislatif serta kesiapan manajemen perusahaan yang bersangkutan akan sangat menentukan keberhasilan privatisasi. Untuk menyambut hadirnya era global dan pasar bebas menuntut pemerintah untuk menciptakan daya saing perusahaan, baik yang dikelola oleh swasta maupun BUMN untuk ditingkatkan profesionalitasnya. Hasil-hasil penelitian mengindikasikan bahwa privatisasi dapat meningkatkan kinerja perusahaan. Stiglitz (1988) dan Bos (1991) menyatakan bahwa privatisasi dapat meningkatkan kinerja karena dapat mengubah insentif manajemen dan tata kelola perusahaan (corporate governance) yang lebih baik.
Namun dalam kenyataannya, kebijakan privatisasi di Indonesia bukan cara utama untuk melakukan pembenahan BUMN. Privatisasi hanya merupakan salah satu komponen, dan akan menjadi langkah tepat jika didukung oleh kondisi tertentu, dan yang utama adalah adanya infrastruktur hukum dan ekonomi yang memadai, serta kemampuan pemerintah dalam melakukan swastanisasi itu sendiri harus sesuai prosedur yang benar dan transparan . Studi internasional yang dilakukan oleh PBB sampai pada kesimpulan bahwa peluang keberhasilan privatisasi akan ada hanya di negara- negara yang pemerintahannya terbukti mampu mengelola perusahaan negara. Adapun di negara-negara yang pemerintahannya tidak mampu mengelola perusahaan negara dengan efektif dan efisien, maka besar kemungkinan akan gagal dalam swastanisasi itu. Kesimpulan ini sangat sesuai dengan apa yang terjadi di Indonesia. Pemerintahan Indonesia selama ini belum terbukti mampu mengelola perusahaan negara secara optimal dan berdasarkan pengalaman empiris, swastanisasi yang dilakukan lebih banyak mendatangkan masalah dari pada manfaat (Basri, 2009).
Privatisasi ternyata bukan urusan mudah, dan sudah banyak negara selain Indonesia, misalnya Taiwan, meskipun perusahaan-perusahaan yang dijual sepenuhnya sehat namun justru mengalami kerugian besar akibat swastanisasi tersebut. Swastanisasi lazimnya hanya terjadi di sebuah perekonomian yang sudah maju, di mana bursa saham sudah terbangun secara mapan dan sebagian besar penduduknya sudah mampu menjadi investor saham, Contoh negara yang sangat sukses menjalankan swastanisasi adalah Jerman, Inggris, Jepang, (Basri, 2009).
Adapun Permasalahannya adalah sebagi berikut ;
1. Bagaimana pengertian privatisasi secara teoritis?
2. Apakah tujuan dan manfaat privatisasi?
3. Bagaimana kebijakan dan pelaksanaan privatisasi BUMN di Indonesia?
4. Bagaimana dampak privatisasi terhadap perekonomian makro Indonesia?
Kajian Teori
Privatisasi Dalam Teori
Privatisasi diyakini bermuara dari teori Neo-Liberalisme, sebuah teori yang menggerakkan “revolusi” ekonomi dunia pada pertengahan tahun 1980-an yaitu revolusi Neo-Leberalisme. Revolusi ini bermakna bergantinya sebuah manajemen ekonomi yang berbasiskan persediaan menjadi berbasis permintaan. Faham/aliran Neo-Liberalis dengan tokoh yang terkenal penganjur paham ini adalah Milton Friedman, seorang pemikir yang masih percaya pada kapitalisme klasik yang berpendapat bahwa urusan negara hanyalah masalah tentara dan polisi, yang melindungi hidup warganya. Negara tidak boleh mencampuri perekonomian dan menarik pajak dari rakyatnya, karena menurutnya telah terbukti bahwa krisis ekonomi semakin memburuk jika negara berusaha mengatasinya. Pokok-pokok ajaran neoliberal tergambar pada:pertama biarkan pasar bekerja, kedua kurangi pemborosan dengan memangkas semua anggaran negara yang tidak produktif seperti subsidi pelayanan sosial, ketiga lakukan deregulasi ekonomi, keempatkeyakinan terhadap privatisasi, kelima keyakinan pada tanggung jawab individual (Nugroho, 2008)
Definisi privatisasi telah dikemukakan oleh berbagai penulis, antara lain Kay dan Thompson (1975) mengemukakan bahwa privatisasi merupakan terminologi yang mencakup perubahan hubungan antara pemerintah dan sektor swasta. Perubahan hubungan yang terpenting adalah adanya denasionalisasi melalui penjualan kepemilikan publik serta deregulasi terhadap status monopoli dan kontrak menjadi kompetisi perusahaan swasta, yang diantaranya dalam bentuk waralaba (franchise). Terkait dengan peran pemerintah dalam perusahaan negara, Savas (1987) memberikan definisi privatisasi sebagai tindakan mengurangi peran pemerintah atau meningkatkan peran swasta, khususnya dalam aktivitas yang menyangkut kepemilikan atas aset-aset. Sedangkan Bastian (2002) menegaskan bahwa asumsi dasar penyerahan pengelolaan pelayanan publik kepada sektor swasta adalah dalam rangka peningkatan efisiensi penggunaan sumber daya. Tindakan privatisasi dipandang sebagai alternatif terbaik karena mekanisme pasar akan memungkinkan terjadinya efisiensi ekonomi. Terkait asumsi ini, privatisasi adalah penyerahan pengendalian secara efektif dari suatu perusahaan milik pemerintah kepada manajer dan pemilik swasta, yang diikuti oleh pengalihan kepemilikan saham mayoritas pemerintah kepada swasta. Senada dengan batasan-batasan di atas, Mardjana (1993) menyimpulkan bahwa privatisasi adalah salah satu unstrumen kebijakan publik yang dapat digunakan untuk mendorong terjadinya persaingan bebas, Disamping itu privatisasi juga dapat mengurangi dampak kegagalan pasar (market failure) yang disebabkan oleh: (1) inefisiensi; (2) informasi yang tidak semitris; (3) biaya sosial; dan (4) intervensi pemerintah (Mardjana, 1993).
Dampak Privatisasi BUMN Terhadap
Perekonomian Makro Indonesia
Idealnya privatisasi BUMN dipandang sebagai langkah untuk mengurangi intervensi pemerintah dalam bidang ekonomi yang seharusnya dilaksanakan oleh sektor swasta. Privatisasi diharapkan dapat meningkatkan daya saing dan efisiensi perusahaan yang selanjutnya mendukung pertumbuhan ekonomi Indonesia. Namun, privatisasi yang dilakukan pemerintah saat ini bukan dalam tujuan tersebut, melainkan untuk menutup defisit APBN. Meskipun BUMN adalah “milik negara” namun tidak ada kebenaran yang cukup bagi pemerintah untuk melego BUMN-nya untuk mengisi kekurangan dana operasionalnya. Kekurangan pada budget anggaran adalah tanggung jawab institusi pemerintah, yang selayaknya diatasi dengan cara efisiensi operasional, bukan dibebankan kepada orang lain.
Pemerintah mulai tahun 2002 cenderung melakukan obral BUMN yang saat itu bernilai buku Rp. 850 trilyun atau US$ 89,5 milyar yang bukan hanya merugikan namun juga sangat memalukan dan memilukan ( Basri, 2009). Berikut ini adalah beberapa ilustrasi privatisasi beberapa BUMN :
1. Penjualan PT Semen Gresik (SG) tahun 1998 yang sangat merugikan karena dua alasan yaitu (a) kontrak jual-belinya bersyarat (conditional sale and purchase agreement/CSPA), dan (b) harga jualnya terlalu murah.Dalam CSPA Cemex sebagai pembeli yang hanya memiliki 14% saham (ditambah pembelian di bursa efek maka total sahamnya menjadi 25,53%) ternyata mempunyai otoritas yang sama dengan pemerintah RI yang mempunyai saham 51 %. Cemex bahkan mendapat jatah wakil direktur utama dan wakil komisaris yang kekuasaannya sama dengan direktur utama dan komisaris utama. Bagaimana mungkin kontrak yang sedemikian ini bisa ditanda-tangani? Lebih menyedihkan lagi harga saham SG pun jauh dibawah nilai pasarnya.
2. Penjualan sama BCA yang akibat krisis beralih tangan dari Keluarga Salim ke Pemerintah RI. Divestasi saham BCA 51 % oleh BPPN pada tahun 2002 hanya menghasilkan dana sekitar Rp. 5,345 trilyun. Jumlah ini bahkan tidak sampai 10 % dana rekapitulasi BCA yang telah dikeluarkan negara yang mencapai Rp. 59,7 trilyun. Terlebih lagi dari divestasi yang merugikan itu pemerintah RI harus menanggung biaya bunga obligasi rekap yang pada akhir tahun 2002 mencapai Rp. 47,7 trilyun. Bagaimana hal ini bisa terjadi lagi?
3. Divestasi indosat tahun 2002. Sebelum Mei 2002 Indosat bersama Deutsche Telekom (DT) memiliki Satelindo dengan pembagian saham 75 % (Indosat) dan 25 % (DT). Pada bulan Mei 2002 Indosat mengambil alih 25 % saham DT senharga US$ 325 juta. Seharusnya nilai Satelindo menjadi US$ 1.3 milyar Lalu pada bulan Oktober 2002 STT Telemedia (Singapura) membeli 41,94 % saham pemerintah di PT Indosat dengan harga hanya US$ 1,487 milyar. Padahal nilai Satelindo sendiri sudah US$ 1,3 milyar. Jadi seluruh saham Indosat minus Satelindo hanya dihargai US$ 187 juta, padahal Indosat adalah induk Satelindo. Dengan kata lain 41,94 % saham pemerintah di Indosat yang dibeli STT hanya dihargai sebesar US$ 79 juta, dan dengan harga “super obral” ini STT telah menguasai bisnis satelit dan hak operator fixed-line di Indonesia, sekaligus menjadikannya sebagai penguasa mayoritas bisnis seluler di Indonesia. Ketika itu dikabarkan bahwa STT adalah pihak yang memberikan penawaran tertinggi. Kalau tawaran tertinggi masih merugikan, mangapa penjualan dipaksakan?
Beberapa contoh kasus privatisasi di atas terutama karena desakan untuk menutup defisit APBN. DPR yang seharusnya mengontrol segala sesuatunya, dalam praktiknya bukan membantu menjernihkan situasi namun malah sebaliknya . Yang pasti privatisasi padamasa itu merupakan privatisasi terburuk dan paling merugikan .
Reaksi pemerintah dengan kejadian seperti di atas, pada awalnya cukup bijaksana yaitu menghentikan privatisasi sebagai cara untuk menambal defisit APBN sehingga pada tahun 2005 tidak ada privatisasi BUMN. Namun pada tahun-tahun berikutya privatisasi dilakukan lagi. Meskipun tidak separah pada masa sebelumnya. Contoh penjalan saham Perusahaan Gas Negara (PGN) pada tahun 2006, yang sudah direncanakan sejak tahun 2005. Saham PGN yang akan dijual sebanyak 5,8 % (185 juta lembar saham). Entah mengapa, pelaksanaan privatisasi ini berjalan lambat sehingga baru dilakukan pada Desember 2006 dengan harga p. 11.350/lembar saham. Pdahal jika transaksi dilakukan pada Agustus 2005 harganya mencapai Rp. 13.600/lembar saham. Timing yang buruk berakibat fatal . Tidak baerhenti sampai di situ, pada tahun 2007 ketika berlangsung divestasi saham pemerintah di Bank BNI . Pemerintah memutuskan melepas saham sebanyak 3,95 milyar saham BNI seharga Rp.2.050/lembar. Harga itu lebiih murah 28 % dari harga pasaran tertinggi.Rp. 2.850/lembar pada sesi penutupan tanggal 25 Juli 2007. Dalam transaksi ini negara dirugikan hingga Rp. 3, 16 trilyun. Astaghfirullah hal adziim.
Berdasarkan uraian di atas, ternyata hasil privatisasi sebenarnya tidak sepadan dengan apa yang dikorbankan. Apalagi dengani privatisas BUMN, yang dijual kepada pihak asing, maka yang lepas dari kontrol negara bukan hanya sejumlah aset, tetapi juga kebanggaan nasional yang bahkan digantikan dengan rasa kekhawatiran akan makin menguatnya dominasi asing di perekonomian tanah air kita tercinta ini.
Kesimpulan
Beberapa kesimpulan yang dapat ditarik di akhir tulisan ini adalah:
1. Privatisasi adalah kebijakan yang multifacet- banyak muka. Secara ideologis bermakna meminimalisir peran negara. Secara manajemen bermakna meningkatkan efisiensi pengelolaan usaha dan meningkatkan nilai perusahaan, Secara anggaran, privatisasi dapat diartikan sebagai pengisi kas negara yang sedang difisit.
2. Salah satu tujuan yang akan dicapai melalui kebijakan privatisasi adalah memberikan kontribusi finansial kepada negara dan badan usaha, mempercepat penerapan prinsip-prinsip Good Corporate Governance,membuka akses ke pasar internasional, dan alih teknologi serta transfer best practice kepada badan usaha.
Sedangkan manfaat pelaksanaan kebijakan privatisasi selain untuk memperbaiki perekonomian nasional ( skala makro ) juga bertujuan untuk meningkatkan kinerja BUMN (skala mikro).
3. Privatisasi yang ideal adalan privatisasi yang mampu meningkatkan kinerja BUMN; mampu menerapkan prinsip-prinsip goog corporate governance; mampu meningkatkan akses ke pasar internasional; terjadinya transfer iptek; terjadinya perubahan budaya; dan mampu memberikan kontribusi menutup defisit APBN.
4. Di Indonesia, pemerintah dapat melakukan privatisasi setelah DPR-RI memberikan persetujuan atas RAPBN yang di dalamnya terdapat target penerimaan negara dari hasil privatisasi. Rencana privatisasi dituangkan dalam program tahunan privatisasi yang pelaksanaannya dikonsultasikan kepada DPR-RI. Privatisasi dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip transparansi, kemandirian, akuntabilitas, pertanggung-jawaban, kewajaran, dan prinsip harga terbaik dengan memperhatikan kondisi pasar (domestik dan internasional).
5. Kebijakan privatisasi di Indonesia dilaksanakan berdasarkan pemikiran yang menyejajarkan peran strategis BUMN dengan kemajuan ekonomi nasional. Pengurusan dan pengawasannya harus dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance), sedangkan peningkatan produktivitas dan efisiensi melalui langkah-langkah restrukturisasi dan privatisasi.
6. Sumbangan terbesar dari BUMN sesungguhnya adalah barasal dari pajak, lalu deviden, baru kemudian diikuti oleh dari hasil privatisasi. Dengan demikian apabila kita mengharapkan kontribusi yang lebih besar dari BUMN bagi perekonomian nasional, maka langkah logis yang harus dilakukan adalah menyehatkan BUMN sehingga dapat memberi kontribusi berupa pajak dan deviden dalam jumlah yang lebih besar lagi
Rekomendasi
1. Dalam menjalankan tugasnya, manajemen BUMN dituntut untuk lebih transparan srta mampu menerapkan prinsip good corporate governance . Manajemen BUMN harus sadar bahwa setelah privatisasi, pengawasan bukan hanya dari pihak pemerintah tetapi juga investor yang menanamkan modalnya ke BUMB tersebut.
2. Privatisasi harus dikembangkan sebagai strategi bisnis, bukan sebagai strategi anggaran – untuk menambal difisit anggaran. Oleh karena itu pemerintah hendaknya menetapkan perarturan yang benar-benar kondusif sehingga kebijakan privatisasi yang dilakukan dapat memperbaiki perekonomian nasional (skala makro) dan meningkatkan kinerja BUMN (skala mikro).
Daftar Pustaka
Basri, Faisal (2009): Lanskap Ekonomi Indonesia . Jakarta : Kencana.
Bastian, Indra ( 2002) : Privatisasi di Indonesia, Jakarta : Salemba Empa
Bos,Deiter (1991) : A Theory of the Organization of Public Interprises, Journal of Economics, Supplement, 5,1985, pp 17 – 40.
Kay, J.A. dan D.J. Thompson (1986) : Privatization : A Policy in Search of A Rational, The Economic Journal, Vol 96, March 1986, pp 18 – 32.
Moore, Stephen (1987) : Contracting Out : A Painless Alternatif to Budget Cutter’s Knife, in Steve H,Hanke (Ed), Prospect of Privatization, New York, The Academy of Political Science.
Nugroho, Riant (2008) : Manajemen Privatisasi BUMN. Jakarta : PT Gramedia
Savas, E.S. (1997): Privatization: The Key to Better Government, New Jersey: Chatam House Publisher, Inc.
Stiglitz, Joshep E.(1988) : Economics of The Public Sector, New York : W.W. Northon.
Komentar
Posting Komentar